Sejarah LPIA

Ali Badarudin, CEO of LPIA Group
 
Pelopor Konsep Franchise
Investasi Sekali untuk Seumur Hidup



Meski pendidikannya dari institut keguruan jiwa kewirausahaan Ali Badarudin tak padam. Ia ingin memiliki sekolah sendiri yang dirintisnya dengan membuka kursus bahasa Inggris 19 tahun lalu. Kini ia menjadi salah satu tokoh yang mengembangkan lembaga pendidikan dengan jumlah cabang terbanyak.
Ali Badarudin sudah sejak mahasiswa tak ingin jadi karyawan. Ini keinginan yang bisa dianggap “menyimpang” untuk ukuran akhir 1980-an. Maklumlah, pada saat itu kebanyakan anak muda (terutama mahasiswa) berlomba-lomba mendapatkan nilai tinggi agar bisa bekerja di perusahaan besar. Ali berbeda aliran dengan mereka. Padahal kalau dilihat dari jalur pendidikan yang ditempuhnya, ia sudah dikurung oleh peluang sempit yang akan mengantarnya hanya menjadi pengabdi.
Ia kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) yang sudah tentu jika lulus kelak akan jadi guru. Ternyata meski ia harus jadi guru, yang terbenam di benaknya bukan sekadar guru. “Saya ingin memiliki sekolah sendiri,” tuturnya. Dari sini saja pikirannya sudah berbeda.
Sayangnya, untuk bisa mendirikan sekolah sendiri modalnya tidaklah kecil. Pada saat itu ia tak punya modal. Apalagi ia masih mahasiswa yang tengah menyusun skripsi. Tetapi lelaki kelahiran Solo 1963 ini menangkap peluang bagus mewujudkan mimpinya dengan membuka kursus bahasa Inggris. “Saya membuka kursus di garasi rumah di Jakarta Timur,” katanya.
Ia memilih nama Canari untuk lembaga kursus yang didirikannya. Nama itu, menurut dia, sebagai akronim dari keinginannya membesarkan kursus hingga menguasai Indonesia (can-RI). Ia kumpulkan sejumlah temannya untuk memasarkan kursusnya dengan iming-iming komisi. Dan untuk membantunya mengelenggarakan kursus ia mengangkat seorang staf. Begitu kursus itu diluncurkan 40 orang mendaftar menjadi siswa pertamanya.
Namun untuk memasarkan lebih jauh, nama “Canari” ternyata kurang menjual. Di samping itu, ia tahu kalau caranya mengelola kursus masih perlu pembenahan karena itu ia terus mencari rujukan. Untuk mendapatkan rujukan itu, antara lain, ia ikut kursus di Lembaga Indonesia Amerika (LIA) sekalian mengintip pola manajemen yang diterapkannya kursus terkenal itu.

Mendirikan LPIA
Dari LIA ia tak sekadar mendapatkan ilmu, ia juga mendapatkan inspirasi. Saat itu, kata dia, LIA merupakan lembaga kursus bahasa Inggris yang menyasar kelas atas. Sedangkan ia tengah mengejar pasar di kelas menengah, pasar yang menurut dia amat besar.
Ia juga melihat peluang lain yang sedang berkembang, yaitu kursus komputer. Kedua kursus ini –bahasa Inggri dan komputer-- menurutnya ibarat tambang emas yang menggiurkan. Dan nilainya akan makin besar jika dipadukan. Tetapi LIA hanya menyelenggarakan kursus bahasa Inggris.
Sedangkan di antara berbagai jenis kursus komputer yang menurutnya maju saat itu adalah Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia Amerika (LPKIA) yang berdiri di Bandung. Yang menarik, antara LIA dan LPKIA memiliki kemiripan nama. Kemiripan ini menginspirasinya. “Karena saya ingin memiliki lembaga kursus bahasa Inggris dan kursus komputer saya terpikirkan menggabungkan nama LIA dan LPKIA. Dari situlah lahir nama LPIA, Lembaga Pendidikan Indonesia-Amerika,” tuturnya.
Cuma melegalkan nama ini tak semudah yang dikira. Ketika ia mendaftarkan nama kursus LPIA-nya ke Departemen Pendidikan surat ijin tak segera terbit. Menurut pengakuannya, ia sampai harus menunggu hingga dua tahun sampai ijinnya keluar.
Sambil menunggu ijin keluar ia terus menjalankan kursusnya. Nama Canari dibuang setelah tiga bulan digunakan dan diganti dengan LPIA (Lembaga Pendidikan Indonesia-Amerika). Penggunaan nama itu bisa dibilang nekat karena belum ada ijin. “Saya degdegan pula,” akunya.
Dengan nama baru ini ia bertekad membesarkannya. Apalagi ia sudah mencium nama baru ini memiliki magnit berbeda dibanding Canari dan yakin siswanya akan banyak. Untuk mendukung harapannya itu tak bisa tidak ia harus meninggalkan garasi dan menempatkan kursusnya di gedung yang representatif. Lalu ia mengincar tempat di Gedung Galileo di Jalan Kalilio, Jakarta Pusat.
“Saya kemudian menghubungi (sastrawan) Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pemilik gedung Galileo. Saya minta dispensasi agar bulan pertama tak usah bayar sewa karena saya masih mahasiswa dan tak punya uang untuk menyewa,” paparnya. Ternyata permohonan itu disambut baik oleh STA. “Saya mendapatkan memo dispensasi dari STA untuk pengelola gedung itu. Sampai sekarang memo itu masih saya simpan. Memo itu tak cuma menyebutkan saya tak usah bayar satu bulan, tetapi dua bulan,” tutur Ali. Akhirnya ia buka kursus di situ.
Dengan berbekal tempat yang lebih besar Ali kemudian mengerahkan sejumlah temannya untuk menjaring murid LPIA-nya. “Saya cetak brosur beberapa rim. Untuk cetak brosur pun kami tak perlu bayar dulu karena percetakannya percaya kami,” ujarnya. Setelah brosur disebar, ratusan calon siswa LPIA mendaftarkan jadi calon muridnya. Untuk menyaring jumlah siswa sesuai daya tampung gedungnya, Ali mengadakan tes di GOR Senen. Dari seleksi itu terkumpul 400 siswa, jumlah siswa yang cukup besar untuk kursus yang belum setahun berdiri.
Tampaknya nama LPIA sendiri cukup menjual. Cuma, sayangnya, ijin LPIA belum juga keluar, seperti ditahan oleh kekuatan tertentu. Ia tahu harus melakukan sesuatu agar ijin itu cepat keluar. Pada saat itu, tuturnya, kekuasaan berperan besar dalam soal pengurusan ijin seperti ini. Lalu ia berusaha mendekati keluarga Cendana. Kebetulan ia tahu ada kerabat Ibu Tien Soeharto yang aktif di lembaga kebudayaan. Ia pun berusaha mendekatinya. Setiap kali ada kegiatan pameran seni yang diselenggarakannya ia datang menawarkan diri menjadi sukarelawan panitia atas nama kesamaan minat. Apalagi statusnya mahasiswa yang dikenal punya idealis tinggi. Maka minat pun klop. Lama-lama ia dekat dengan kerabat Cendana tersebut. Setelah sekian lama ia kemudian menceritakan soal ijin LPIA tersebut. Dan entah bagaimana ceritanya ijin LPIA pun kemudian keluar setelah dua tahun. “Malah surat ijin itu datang sendiri ke rumah,” ujarnya.
Tak berpikir panjang, setelah ijin Departemen Pendidikan keluar (1992), ia pun segera mempatenkan nama lembaganya itu. Setelah itu LPIA pun berkembang sebagai lembaga pendidikan kursus bahasa Inggris dan kursus komputer.
Uniknya, sebelum ijin keluar Ali sudah berani membuka cabang. Itu terjadi pada tahun keduanya sejak LPIA beroperasi. “Saya punya keinginan, tiap tahun harus membuka cabang dan cabang pertama dibuka di Bekasi,” ujarnya. Ia menjual rumahnya untuk mendirikan cabang pertamanya itu. Tahun berikutnya ia mendirikan cabang di kota kelahirannya Solo.

Franchise
Agar bisa mendirikan cabang tiap tahun, mulai tahun 1995 Ali mengadopsi sistem kemitraan. Pada saat itu sistem franchise belum begitu dikenal di Indonesia. Sistem kerjasama ini sekarang dikembangkan dengan pola franchise. Investasi untuk mendirikan cabang LPIA, menurut Ali, sekitar Rp 350 juta yang di antaranya sebesar Rp 100 juta untuk initial fee (franchise fee) sedangkan Rp 250 juta untuk tempat dan biaya lainnya. “Initial fee itu berlaku untuk selamanya dan bisa diwariskan, jadi bukan lima tahun dan harus diperbaharui untuk periode lima tahun berikutnya. Di kami initial fee itu sekali bayar untuk selamanya,” kata Ali. “Inilah bedanya franchise kami dengan franchise lain,” lanjutnya.
Selain itu, besaran investasi Rp 350 juta (selain initial fee tadi), juga bisa berkurang jika calon franchisee (investor) punya perlengkapan pendukung yang memadai. “Jika ia punya kursi maka tak perlu beli kursi lagi. Jika punya AC, tak perlu beli AC lagi. Malah untuk pembelanjaan perlengkapan pendukung ini calon franchisee bisa membelinya sendiri. Yang penting yang Rp 100 juta masuk dulu ke kami,” tuturnya.
Ternyata dengan pola kemitraan itu jumlah cabang baru yang bisa didirikan tak cuma satu cabang per tahun seperti diharapkan Ali. Jumlah realisasinya jauh di atas itu. Tengok saja, hingga saat ini jumlah cabangnya sudah mencapai 85 cabang di seluruh Indonesia. Jika dirata-rata sejak tahun 1995 penambahan cabangnya mencapai 4-5 cabang per tahun. Dan hampir 80% merupakan mirip mitra. “Cabang yang punya sendiri cuma lima,” kata mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini.
Setelah sukses dengan kursus bahasa Inggrisnya, pada tahun 1995 kursus komputer mulai ia buka. Namun kursus komputer tak lama kemudian vakum dan mulai digalakkan lagi pada tahun 2006 lalu sehingga LPIA kembali menjadi lembaga pendidikan kursus bahasa Inggris dan komputer seperti yang direncanakannya.
Untuk melengkapi LPIA Ali kemudian mendirikan Bimbingan Belajar Gama UI. Bimbingan belajar (bimbel) ini, katanya sengaja mengambil nama Gama UI karena nama dua universitas yang populer di Indonesia adalah Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI). UGM lebih dikenal dengan nama Gama dan salah satu bimbel yang populer di Indonesia juga mengambil nama Gama yaitu Primagama. Karena itu ia mengambil pula nama Gama yang ia gabung sekalian dengan UI sehingga menjadi Gama UI. “Saya kembali ke filosofi mendirikan LPIA. Nama besar selalu memberikan hasil besar pula. Dengan menggunakan Gama UI calon siswa tegantungkan cita-cita untuk menjadi mahasiswa UGM atau UI,” tuturnya. Tak hanya nama, untuk pengajaranya juga ia ambil dari UGM dan UI.
Saat ini Gama UI sudah berkembang menjadi 40 cabang di Indonesia. Seperti juga dengan LPIA, Gama UI juga kemudian dikembangkan dengan sistem franchise. Investasi untuk franchise Gama UI sebesar Rp 400 juta di mana Rp 100 juta di antaranya merupakan initial fee yang berlaku untuk selamanya pula.

Banyak Gagasan
Berbicara dengan Ali Badarudin memang menarik. Terkesan santai tapi ia memiliki banyak gagasan besar. Tengok salah satu “mainan” terbarunya. Mulai Mei 2008 Ali meluncurkan DKI University. Ini bukan universitas biasa. DKI University ini mungkin akan mengingatkan orang pada Entrepreneur University yang dikembangkan oleh pendiri Primagama, Purdi E Chandra. Tapi Ali lebih menyasar untuk menciptakan kaum profesional dengan jenjang pendidikan setara D1 dan D2. Nama DKI sendiri merupakan kependekan dari Dunia Kerja dan Industri.
Ambisi Ali adalah para lulusannya akan tersalurkan ke industri. Karena itu ia sudah menjalin kerjasama dengan kalangan industri yang membutuhkan profesional sesuai dengan jenjang pendidikan yang diselenggarakannya. Tak hanya di dalam negeri, Ali juga sudah menjalin kerjasama dengan pihak luar negeri. Salah satunya menggaet Ranaco Education& Training Institute dari Malaysia.
Program pendidikan yang diselenggarakannya, untuk program setara D1 adalah Business Management, Information Technology (IT), dan Hospitality & Tourism. Untuk jenjang pendidikan setara D2 bidang pendidikannya Business Management dan Information Technology. Ada juga program extension untuk profesi ahli komputer, English Teacher, dan Entrepreneur. “Untuk program IT pihak Malaysia sudah siap menerima lulusan kami,” ujar Ali. ”Pokoknya kami menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan pesanan (industri),” ujarnya.
Masih ada program yang segera dikembangkannya yaitu untuk menyediakan baby sitter. Ia melihat untuk menyediakan tenaga baby sitter masih bisa di-upgrade pendidikan dan keterampilannya dengan standar lebih tinggi. Segmen inilah yang sedang dibidiknya.
Tak hanya itu, masih ada gagasan-gagasan lain yang cemerlang yang terus ia kembangkan. Ia ingin mendirikan Koperasi Rakyat Indonesia untuk mendukung ekonomi bangsa Indonesia. Ia juga menggagas organisasi Santri Kota, katanya, untuk mendorong orang agar mau menjalankan ahlak baik. Jangan heran dengan sejuta gagasan yang dimilikinya itu Ali Badarudin dipercaya banyak orang. Tengok saja jabatan publik yang saat ini diemban misalnya sebagai pengurus DPP KADIN Indonesia sebagai Wakil Ketua Komite Tetap sertifikasi SDM,  Anggota Dewan Pakar Partai Demokrat, Dewan Pakar MES (masyarakat Ekonomi Syariah), Sekretaris Jendral HIPKI (Himpunan Penyelenggara Kursus Indonesia), Wakil Sekjen HILLSI (Himpunan Lembaga Latihan Seluruh Indonesia), dan Ketua Dewan Pelaksana LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) Instruktur Kursus Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar